Berkunjung ke Toko Buku POST Santa
Kemarin sore (26 Desember 2021), aku dan Nurry pergi ke toko buku POST di Pasar Santa. Toko buku kecil yang cantik.
Dijaga langsung oleh Mas Teddy W. Kusuma, yang setahuku adalah pemilik toko sekaligus kurator, editor, dan penulis beberapa buku terbitan POST Press.
“Kalau satu orang, boleh masuk,” kata (yang sepertinya adalah) Mas Teddy saat aku menggeser pintu toko bernuansa kuning itu. Ia menyambut dengan tersenyum ramah, terlihat cukup jelas meski tertutup masker.
Sekarang-sekarang ini toko buku POST hanya memperbolehkan 7 orang masuk dalam satu waktu, alasannya apa lagi kalau bukan karena pandemi. Bagian ini kiranya nggak perlu kujelaskan panjang-panjang…
Nurry menunggu sambil duduk-duduk di bangku depan toko. Sedangkan aku masuk ke toko dengan langkah perlahan, berusaha agar sepatuku yang bersol tebal nggak melangkah dengan gaduh.
Melalui mataku yang rabun jauh, aku mengamati ada seorang Mbak yang duduk di ruangan kecil di bagian belakang toko. Dia sibuk mengurus sesuatu. Menunduk dan mengetik-ngetik. Potongan rambutnya sebahu dan dicat setengah pirang. Gaunnya bagus, dengan lengan panjang mengembang dan kerah lebar berenda.
Aku menerka-nerka apakah mungkin itu Mbak Maesy Angelina, yang juga adalah pemilik toko, kurator, editor, dan penulis buku-buku terbitan POST. Juga istrinya Mas Teddy. Tapi sepertinya Mbak rambut pirang itu bukan Mbak Maesy.
Di kepalaku, aku sudah berencana jajan buku “Nasib Seorang Penebang Kayu”-nya Soesilo Toer di sini. Tapi amat sulit mencari buku tipis itu di antara buku-buku yang dipajang di bagian depan toko.
Dan tentunya aku nggak punya cukup keberanian untuk bertanya ke yang jaga toko. Apalagi dengan pengetahuan kalau kemungkinan beliau yang sedang jaga toko adalah Mas Teddy itu sendiri…
Maka, aku sok tahu saja mengambil buku apapun yang desain sampulnya cantik. Kubaca-baca sinopsis di sampul belakangnya dan berlagak paham.
Untungnya, nggak lama kemudian mataku tertumbuk pada “Menjejal Jakarta”-nya Viriya Singgih. Aku ‘mengenal’ Viriya Singgih! Tulisannya, “Bak Diikat Tali Sehasta: Saya Wartawan, Saya Menjajal Jadi Kurir, Saya Ngos-ngosan” di Project Multatuli viral di internet pada Agustus lalu.
Nurry sudah masuk ke toko, setelah beberapa pelanggan lainnya pergi. Sesudah ia mengambil “What We Don’t Talk About When We Talk About #MeToo” – aku lupa karangan siapa, kami duduk di meja dekat jendela toko sambil mengamati sekitar.
Selain bukunya Viriya Singgih, di tanganku juga sudah ada “Gerombolan Kucing Bandel” karya E. Nesbit. Sambil kutimbang-timbang mau bawa pulang yang mana. Jauh di kepalaku, aku masih memikirkan bukunya Soesilo Toer. Apa aku tanya saja ya, di mana letak buku itu? Duh, tapi aku canggung!
Aku dan Nurry foto-foto sedikit di dalam toko yang kini hanya berisi tiga pelanggan; aku, Nurry, dan seorang Mas-mas.
Si Mas-mas baru saja membeli buku pilihannya, lalu ia memutuskan untuk langsung membacanya di toko. Dari sudut mataku, aku mengenali sampul buku itu. “Bakat Menggonggong” karangan Dea Anugrah.
Bagaimana ya, kesan si Mas-mas setelah rampung membacanya? Aku pernah membeli buku itu di tahun 2019 dari toko buku bekas online milik Mbak Anggit. Tapi aku nggak sanggup menyelesaikannya, karena jujur aku kelelahan membaca narasi-narasi vulgar ala Dea Anugrah. Maaf ya (entah pada siapa).
Karenanya, “Bakat Menggonggong” sudah berpindah tangan ke Novam sejak awal 2020. Kubawakan padanya saat kami ngopi di sebuah kedai Jogja yang sekarang sudah tutup permanen. Kurasa, sahabatku itu bisa lebih mengapresiasi karya tersebut.
Selain aku, Nurry, dan Mas-mas pembaca “Bakat Menggonggong”, Mbak rambut pirang masih terlihat sibuk di belakang. Sedangkan (yang sepertinya adalah) Mas Teddy, fokus mengetik sesuatu di laptopnya, sambil sesekali sliwar-sliwer memeriksa beberapa buku di toko.
Sambil berbisik, aku bilang ke Nurry bahwa kemungkinan Mas-mas yang sedang duduk laptopan dan jaga toko adalah Mas Teddy.
Sepertinya Nurry langsung menceritakan itu ke kawannya, pemilik toko Bawa Buku di Jogja, lewat pesan Whatsapp. Mungkin kawan Nurry kenal baik dengan Mas Teddy dan Mbak Maesy.
“Salam buat Mas Teddy dan Mbak Maesy,” kata Nurry, membacakan pesan singkat kawannya itu padaku.
Singkat cerita, akhirnya aku berhasil menemukan buku Soesilo Toer incaranku. Ternyata benar, dia nggak dipajang di depan. Terselip di antara buku-buku ngejreng dan tebal-tebal, terpojok di rak belakang. Agak dekat dengan ruangan Mbak pirang duduk.
Ternyata kasir diurus Mbak pirang. Setelah aku membayar buku dengan kartu debit, kami saling mengucap terima kasih.
Sayang sekali aku nggak sempat tanya namanya. Aku mau bilang kalau bajunya bagus.
“Masnya ini, Mas Teddy, ya?” kudengar Nurry membuka percakapan dengan (yang ternyata memang) Mas Teddy, menyampaikan salam dari temannya.
Akhirnya malah aku juga ikut kenalan dan ngobrol sedikit dengan Mas Teddy. Kusampaikan apresiasiku tentang penerbit dan toko buku POST, meski agak terbata-bata karena deg-degan!
Kami ngobrol sedikit soal “Na Willa”-nya Reda Gaudiamo, buku yang membuatku menemukan POST Press dan toko buku POST.
Aku bilang kalau aku sedang ingin baca buku anak-anak saja, makanya aku memilih “Nasib Seorang Penebang Kayu”-nya Soesilo Toer.
Mendengar itu, Mas Teddy turut merekomendasikan “Komponis Kecil” dari penulis yang sama.
“Oke, next aku bakal jajan yang itu,” jawabku, agak terdengar seperti kumur-kumur di balik maskerku yang ketat. Entah Mas Teddy dengar atau tidak, tapi dia menanggapi dengan tertawa ringan.
Aku mempersilakan Mas Teddy kembali berkutat dengan laptopnya, karena sepertinya kami sudah nggak ada bahasan lagi. Sungkan juga kegiatan ketik-mengetiknya yang nampak seru tadi kusela.
Aku suka toko buku POST. Kecil dan bermakna.
Menurutku, pendekatan yang dilakukan POST membuat pelanggan/pembaca merasa dimanusiakan. Tidak ‘kasar’. Kami-kami – atau paling tidak, aku – merasa tidak cuma ‘dipakai’ sebagai sesuatu yang menghasilkan uang…
Entah apakah memang ini gaya Mas Teddy (dan Mbak Maesy, yang belum sempat kutemui), atau ini trik marketing? Kayaknya bukan yang kedua, deh. Kayaknya…
Apapun itu, aku senang karena berada di POST membuatku bisa sedikit lepas dari kesan Jakarta yang formal, buru-buru, dan oportunis.
Kunjunganku memang nggak sampai 1 jam di toko buku imut ini. Bahkan obrolan singkat dengan Mas Teddy juga sepertinya tidak sampai 10 menit.
Tapi buatku yang sudah hampir mati rasa dihajar Jakarta, kunjungan tadi begitu berharga. Tempat ini terasa seperti api unggun yang hangat! ‘Manusiawi’! Entah apapun maksudnya itu!
Dan untuk sekarang sih, ini sudah lebih dari yang kubutuhkan.