Jati Diri Tak Perlu Dicari, Ia Nggak Ke Mana-mana!

Nada Celesta
3 min readJan 5, 2022

--

“Jangan tendang aku ya, Nad.”

Bosku terkekeh-kekeh mengucapnya sambil berjalan melewatiku. Matanya tertuju pada sepatu boots yang kupakai pertama kalinya ke kantor.

Sepertinya, sejak itulah alas kaki heboh tersebut jadi penanda identitasku di sana. Ya paling tidak, itu menurut bosku.

Boots itu baru kubeli nggak lama ini. Warnanya hitam dan sedikit mengkilat. Solnya bergerigi, dan tebalnya sekitar 4–5 cm. Saat kupakai, aku merasa agak menjulang. Ternyata begitu rasanya hidup dengan sudut pandang manusia 158 cm.

Saat kucoba jalan kaki dengan sepatu tersebut, langkahku berbunyi dok… dok… dok…

Mati aku, sangar banget.

Penampilan adalah bagian dari identitas. Juga medium berkomunikasi. Dalam skala tertentu, penampilanmu menunjukkan keberpihakanmu. Kelompok mana yang kamu bela, dan mana yang kamu lawan.

Untuk itu, aku banyak bertanya pada diri ini, bagaimana aku melihat diriku sendiri? Bagaimana aku ingin orang melihatku? Kesan seperti apa yang ingin kutinggalkan pada mereka?

Sejak punya Adult Money alias gaji bulanan, aku mulai banyak bereksperimen dengan gaya berpakaian dan rias wajah.

Nggak banyak yang kuubah dari penampilanku, karena konsepnya dari dulu selalu sama: pokoknya harus gelap dan menakutkan. Bedanya, sekarang lebih terkonsep saja, gitu.

Penampilan itu sarat akan simbol. Oleh karena itu, aku hobi banget bertanya kepada kawan-kawan, “How do you describe your style? Apa yang ingin kamu sampaikan lewat pakaianmu?” Kadang percakapan tersebut sampai pada diskusi seru mengenai ekspresi diri, tapi sering juga mentok di tanggapan seperti, “Nggak tahu. Aku nggak terlalu peduli dengan penampilanku.”

Mungkin semua proses berpikir ini terjadi karena aku selalu berada dalam pusaran pencarian jati diri. Entah sejak kapan aku mulai menanyakan hal-hal seperti, “Siapakah aku?” ke diri sendiri tiap sebelum tidur, tiap jalan kaki sendirian, atau saat sedang di toilet.

Kurasa, masa-masa lulus kuliah dan usia awal 20-an adalah fase yang membuat kontemplasi ini teraksentuasi dengan begitu dahsyatnya.

Pekerjaan baru, teman-teman baru, lingkungan baru, mungkin juga ‘diri’ yang baru. Bukankah begitu? Tapi, siapakah ‘diri’ ini? Bisakah ‘diri’ ini disimplifikasi menjadi simbol-simbol seperti estetika penampilan sehari-hari?

Petualangan mencari jati diri ini melelahkan dan tidak berujung. Eh, tunggu. ‘Petualangan’? Sepertinya lebih cocok disebut ‘penderitaan’.

Usiaku baru 23 tahun, masih kecil dan muda sekali. Tapi rasanya seakan aku bisa mati besok karena kelelahan mengejar ‘diri’, yang aku sendiri tak tahu bagaimana rupanya.

Sampai akhirnya aku berpikir, ‘diri’ yang kucari ini mungkin tak pernah berbentuk utuh dari sananya. Ia bukan sesuatu yang suatu hari nanti akan kutemui. Sebagai gantinya, ia adalah sesuatu yang ‘sekarang’, terdiri dari fragmen nilai-nilai yang ia kumpulkan setiap detik, setiap langkah, setiap ia menarik nafas…

Pun ada yang harus kucari saat ini, itu bukanlah ‘jati diri’. Aku hanya perlu mencari tahu apa saja nilai-nilai penting dalam hidupku. Caranya? Tinggal jalani hidup sebagaimana adanya ia saja.

Setiap persimpangan dan hambatan yang kulalui, akan memaksaku untuk memilih sesuatu sebagai solusinya. Pilihan-pilihan itulah yang bisa mendefinisikan nilai-nilai hidupku.

Nilai-nilai ini datang dari pertanyaan akan apa yang penting dan tidak penting buatku, apa yang kusuka dan aku tidak suka.

Dari situ, ‘diri’-ku terbentuk. Ternyata ‘diri’ ini bisa menjelma pada simbol-simbol seperti pakaian-pakaian yang kukenakan, buku-buku yang kubaca, teman-teman yang kuajak ngopi dan berdiskusi, lagu-lagu yang kudengarkan, makanan yang kukonsumsi, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Aku tak perlu berusaha begitu keras menemukan ‘diri’-ku, karena aku yang sekarang adalah sesungguh-sungguhnya jati diriku. Begitu pula dengan aku satu tahun lalu, atau aku 15 tahun lalu. Aku dengan sepatu boots, atau aku dengan sepatu sandal bertali lilit. Aku dengan kemeja merah, atau aku dengan jubah hitam-hitam. Aku yang banyak bicara, atau aku yang memilih jadi pendengar. Aku yang galak, atau aku yang sok imut di depan orang yang kusuka (hahaha). Aku dengan gincu merah membabi buta, atau bibir coklat kehitaman.

Semuanya itu ‘Aku’, dan semuanya itu tidak ada yang dibuat-buat.

Aku sudah menemukan ‘diri’-ku. Ia dinamis dan kompleks. Ia berubah-ubah dan bertumbuh. Ia unik, namun tak membuatnya asing dari sekitar. Ia mencolok, namun juga membaur. Ia manusia biasa.

Kabar bahagianya, aku tak perlu ‘mencari’-nya! Ia selalu ada di sini bersamaku setiap saat. Ia adalah aku yang sekarang, aku yang dulu, dan aku di masa depan.

Ya ampun. Ternyata jati diri itu tak perlu dicari. Toh, ia tak akan ke mana-mana!

“Nah, kalau ini Nada, yang selalu pakai hitam-hitam dan sepatu boots. Itu trademark-nya dia,” kata bosku saat mengenalkanku pada rekan kerja yang baru masuk.

Baiklah kalau begitu. Mungkin saat ini, inilah ‘diri’-ku yang sekarang.

Besok, siapa yang tahu?

--

--

No responses yet